Monday, February 1, 2016

Pseudoteaching: Refleksi Menjelang 12 Tahun Mengajar (part-1)

Tulisan ini sangat bebas, berasal dari pikiran yang bebas, tanpa ada dukungan literasi yang kuat dan mumpuni. Hanya sebuah renungan suatu siang....jadi mohon maaf bila sedikit ngaco.

Istilah pseudo dalam dunia pendidikan hampir tidak ditemukan, khususnya pendidikan matematika. Catatan dari para ahli pendidkan tentang Revitalisasi Pendidikan Matematika sedikit sekali yang menyinggung istilah ini. Rata-rata mereka menyinggung tentang self-efficacy, self-regulation, belief, anxiety, procrastination, berfikir kreatif,   

Secara terminologi, istilah pseudo diartikan sebagai sesuatu yang tidak sebenarnya atau dengan kata lain semu. Teaching diartikan sebagai mengajar. Mengajar adalah suatu aktivitas atau upaya yang dilakukan oleh seseorang (baca: guru) untuk menciptakan suatu kondisi bagi orang lain (baca: murid) agar mencapai proses belajar. Sedangkan belajar adalah suatu pengalaman yang diterima dari seoarang individu untuk mencapai kondisi lebih baik.

Pesudo-teaching berarti dapat diartikan sebagai mengajar semu, artinya ketika seorang guru sedang mengajar, tampak memang sedang mengajar, akan tetapi proses yang terjadi di dalam kelas bukan proses dari suatu perencanaan yang baik, hanya berupa intuisi dan insting yang telah melekat dari guru tersebut, sehingga tampaknya mengajar namun sesungguhnya guru tersebut hanya mentransfer ilmu tanpa memperhatikan proses kognitif murid-muridnya, karena yang dilihat hanya hasil kognitif semata.

Dua belas tahun mengajar, bukan suatu bilangan yang kecil jika dikonversi ke dalam hari atau ke dalam jatah jam mengajar yang minimal mendapatkan 20 jam ngajar tiap minggunya. Banyak siswa pun telah mencapai ribuan, katakanlah setiap tahun banyak murid yang diajar adalah 100 siswa (minimal), jika 12 tahun mengajar maka sudah 1.200 murid yang pernah dihadapi. Jika setiap murid memiliki karakteristik dan keunikan masing-masing individu berbeda-beda (tentu berbeda), maka bisa dikatakan guru itu sudah pernah menghadapi seribu dua ratus karakter dari murid. Suatu jumlah yang fantastis dan bila setiap murid memiliki jurnal masing-masing, maka guru itu memiliki koleksi sebanyak 1.200 peristiwa dan perkembangan individu dalam proses pembelajaran yang tentu saja bila tercatat dengan baik.

Topik tentang pseudo-teaching ini aku angkat sebagai refleksi pribadi atas prestasi yang pernah aku capai, yaitu prestasi dengan tetap konsisten mengajar selama 12 tahun ini.  Selain itu, ada sebuah pertanyaan yang dilontarkan dari kawan sekaligus tante aku, yaitu “Kalo sudah lulus terus mau ngapain?”.

Pertanyaan yang simple, tapi seharian aku merenung dan akhirnya aku mutusin mau melanjutkan tulisan tentang pseudo-teaching. Tahun lalu topik ini yang rencananya mau aku ambil sebagai bahan research, sayangnya literasi tentang pseudo sendiri masing sangat minim. Hanya ada satu jurnal yang membahas tentang topik ini dan itupun sudah sangat lama, tahun 1938 dari E.C.Cline. Akan tetapi ada satu kawan aku yang berani mengambil topik ini-sehingga aku layak angkat topi buat dia. Ohya, Istilah ini aku peroleh pas ngikutin matkul Psikologi Pendidikan Matematika yang diampu oleh Pak Anton Noornia.  

Pernyataan mendasar selama kontemplasi di warung bakso yang deket kampus UNJ:     
  1. Selama aku mengajar suatu topik tertentu, hanya dua kemungkinan, yaitu: sukses atau gagal; ukuran sukses atau gagal pun bisa berlaku secara personal maupun klasikal.
  2. selama aku mengajar ini, benarkah aku membuat dan melaksankan rencana pembelajaran dengan baik dan setelah itu ada refleksi?
  3. Selama aku mengajar, bagaimana pendekatanku ke murid?. Bankinisme atau constructifisme?
Di sini saya tidak sedang berbicara tentang cara mengajar yang benar-benar buruk atau jenis yang gagal melibatkan siswa dalam proses pembelajaran atau gagal dalam melakukan perbaikan. Namun, saya akan membahas tentang pengajaran yang terdengar bagus, terlihat baik-baik saja dalam pelaksanaan namun tidak menciptakan perubahan dalam pengetahuan.

Oke, refleksi lagi:
  1. berapa kali aku mengupgrade jenis-jenis soal yang akan kuberikan ke siswa
  2. pernahkah aku berfikir alasan mengapa aku memberikan contoh soal atau soal seperti ini atau hanya sekedar sedapetnya saja. akibatnya contoh soal di tiap-tiap kelas bisa bervariasi tergantung dari daya ingatku pada saat kasih materi.

Oke, refleksi lagi:
Misalkan ketika aku mengajar materi turunan ke siswa kelas XI jurusan IPA atau jurusan IPS deh. Oke, aku punya rencana pembelajaran yang tertuang dalam bentuk RPP. Salah satu indikatornya adalah siswa dapat menentukan turunan pertama fungsi aljabar. Okeey.. tentu cara aku mengajar yang sudah-sudah adalah (yang paling mudah bener-bener paling mudah) adalah memberikan aturan atau rule atau rumus turunan pertama fungsi. Kemudian memberikan variasi soal-soal yang harus dikuasai eh atau diigat oleh siswa kemudian memberikan trik-trik cara mengerjakan soal. Okey… hasil yang dicapai memuaskan bahkan sangat memuaskan. 
Nampaknya, pembelajaran sangat berhasil to?! Karena toh selama pembelajarn menggunakan pendekatan pembelajarn yang bervariasi, bisa LKS, scaffolding, atau cooperative. Akan tetapi, apakah dapat dipastikan bahwa siswa memahami apa turunan itu?! Jawabannya adalah TIDAK.

Saya berani bertaruh, siswa-siswaku itu tidak memahami apa maksud dari turunan itu. Mereka akan paham (mungkin) ketika sudah duduk di bangku kuliah dan mendapatkan mata kuliah kalkulus (begitu ungkapan dari siswa-siswaku). Mereka baru memahami bahwa Ooo.. turunan itu laju perubahan suatu fungsi.

Tentu saja, bagi siswaku lebih menyenangkan buat mereka untuk mencari turunan suatu fungsi dengan tingkat kesulitan yang masih dapat mereka jangkau untuk dikerjakan (pada area perkembangan proksimal-istilah dari Vygotsky yaitu ZPD-Zone Proximal Development) dengan cara yang standard dan baku (mungkin looh… ini adalah asumsi bebasku).

bersambung......

No comments:

Categories

Labels

zube's verden

Facebookuw

zube's FunClub