Tulisan ini sangat bebas, berasal dari pikiran
yang bebas, tanpa ada dukungan literasi yang kuat dan mumpuni. Hanya sebuah
renungan suatu siang....jadi mohon maaf bila sedikit ngaco.
Istilah pseudo
dalam dunia pendidikan hampir tidak ditemukan, khususnya pendidikan matematika.
Catatan dari para ahli pendidkan tentang Revitalisasi Pendidikan Matematika
sedikit sekali yang menyinggung istilah ini. Rata-rata mereka menyinggung
tentang self-efficacy, self-regulation,
belief, anxiety, procrastination, berfikir kreatif,
Secara terminologi, istilah pseudo diartikan sebagai sesuatu yang
tidak sebenarnya atau dengan kata lain semu. Teaching diartikan sebagai mengajar. Mengajar adalah suatu
aktivitas atau upaya yang dilakukan oleh seseorang (baca: guru) untuk
menciptakan suatu kondisi bagi orang lain (baca: murid) agar mencapai proses
belajar. Sedangkan belajar adalah suatu pengalaman yang diterima dari seoarang
individu untuk mencapai kondisi lebih baik.
Pesudo-teaching berarti dapat diartikan sebagai
mengajar semu, artinya ketika seorang guru sedang mengajar, tampak memang
sedang mengajar, akan tetapi proses yang terjadi di dalam kelas bukan proses
dari suatu perencanaan yang baik, hanya berupa intuisi dan insting yang telah
melekat dari guru tersebut, sehingga tampaknya mengajar namun sesungguhnya guru
tersebut hanya mentransfer ilmu tanpa memperhatikan proses kognitif
murid-muridnya, karena yang dilihat hanya hasil kognitif semata.
Dua belas tahun mengajar, bukan suatu bilangan
yang kecil jika dikonversi ke dalam hari atau ke dalam jatah jam mengajar yang
minimal mendapatkan 20 jam ngajar tiap minggunya. Banyak siswa pun telah
mencapai ribuan, katakanlah setiap tahun banyak murid yang diajar adalah 100
siswa (minimal), jika 12 tahun mengajar maka sudah 1.200 murid yang pernah dihadapi.
Jika setiap murid memiliki karakteristik dan keunikan masing-masing individu
berbeda-beda (tentu berbeda), maka bisa dikatakan guru itu sudah pernah
menghadapi seribu dua ratus karakter dari murid. Suatu jumlah yang fantastis
dan bila setiap murid memiliki jurnal masing-masing, maka guru itu memiliki
koleksi sebanyak 1.200 peristiwa dan perkembangan individu dalam proses
pembelajaran yang tentu saja bila tercatat dengan baik.
Topik tentang pseudo-teaching ini aku angkat
sebagai refleksi pribadi atas prestasi yang pernah aku capai, yaitu prestasi
dengan tetap konsisten mengajar selama 12 tahun ini. Selain itu, ada sebuah pertanyaan yang
dilontarkan dari kawan sekaligus tante aku, yaitu “Kalo sudah lulus terus mau
ngapain?”.
Pertanyaan yang simple, tapi seharian aku
merenung dan akhirnya aku mutusin mau melanjutkan tulisan tentang
pseudo-teaching. Tahun lalu topik ini yang rencananya mau aku ambil sebagai
bahan research, sayangnya literasi tentang pseudo sendiri masing sangat minim.
Hanya ada satu jurnal yang membahas tentang topik ini dan itupun sudah sangat
lama, tahun 1938 dari E.C.Cline. Akan tetapi ada satu kawan aku yang berani
mengambil topik ini-sehingga aku layak angkat topi buat dia. Ohya, Istilah ini
aku peroleh pas ngikutin matkul Psikologi Pendidikan Matematika yang diampu
oleh Pak Anton Noornia.
Pernyataan mendasar selama kontemplasi di
warung bakso yang deket kampus UNJ:
- Selama aku mengajar suatu topik tertentu, hanya dua kemungkinan, yaitu: sukses atau gagal; ukuran sukses atau gagal pun bisa berlaku secara personal maupun klasikal.
- selama aku mengajar ini, benarkah aku membuat dan melaksankan rencana pembelajaran dengan baik dan setelah itu ada refleksi?
- Selama aku mengajar, bagaimana pendekatanku ke murid?. Bankinisme atau constructifisme?
Di sini saya tidak sedang berbicara tentang cara
mengajar yang benar-benar buruk atau jenis yang gagal melibatkan siswa dalam
proses pembelajaran atau gagal dalam melakukan perbaikan. Namun, saya akan
membahas tentang pengajaran yang terdengar bagus, terlihat baik-baik saja dalam
pelaksanaan namun tidak menciptakan perubahan dalam pengetahuan.
Oke, refleksi lagi:
- berapa kali aku mengupgrade jenis-jenis soal yang akan kuberikan ke siswa
- pernahkah aku berfikir alasan mengapa aku memberikan contoh soal atau soal seperti ini atau hanya sekedar sedapetnya saja. akibatnya contoh soal di tiap-tiap kelas bisa bervariasi tergantung dari daya ingatku pada saat kasih materi.
Oke, refleksi lagi:
Misalkan ketika aku mengajar materi turunan ke
siswa kelas XI jurusan IPA atau jurusan IPS deh. Oke, aku punya rencana
pembelajaran yang tertuang dalam bentuk RPP. Salah satu indikatornya adalah
siswa dapat menentukan turunan pertama fungsi aljabar. Okeey.. tentu cara aku
mengajar yang sudah-sudah adalah (yang paling mudah bener-bener paling mudah)
adalah memberikan aturan atau rule atau rumus turunan pertama fungsi. Kemudian
memberikan variasi soal-soal yang harus dikuasai eh atau diigat oleh siswa
kemudian memberikan trik-trik cara mengerjakan soal. Okey… hasil yang dicapai
memuaskan bahkan sangat memuaskan.
Nampaknya, pembelajaran sangat berhasil to?!
Karena toh selama pembelajarn menggunakan pendekatan pembelajarn yang
bervariasi, bisa LKS, scaffolding, atau cooperative. Akan tetapi, apakah dapat
dipastikan bahwa siswa memahami apa turunan itu?! Jawabannya adalah TIDAK.
Saya berani bertaruh, siswa-siswaku itu tidak
memahami apa maksud dari turunan itu. Mereka akan paham (mungkin) ketika sudah
duduk di bangku kuliah dan mendapatkan mata kuliah kalkulus (begitu ungkapan
dari siswa-siswaku). Mereka baru memahami bahwa Ooo.. turunan itu laju
perubahan suatu fungsi.
bersambung......
No comments:
Post a Comment