Baiklah,
Pernahkan anda mengalami keadaan pseudoteaching?
Bagiaman sih pseudoteaching itu?
Aku beri contoh yang pernah aku lakukan saja selama
ini:
Tahun pertama aku ngajar sebagai guru baru:
Biasalah, guru baru masih muda dengan idealism yang
tinggi dan suara menggelegar. Sampai-sampai aku dijuluki “guru TOA”; “guru
badai” soalnya kalo jalan cepet palagi pas ngomong cuuepeeeet dan kenceng. Hahaha…
mengingatnya, bikin senyum dan nyengir terkembang. Ya, dulu aku kalo ngajar
semangat banget, antusias, persiapan ngajar enggak tanggung-tanggung, semua
metode aku coba. Tapi apakah anak-anak pada saat itu mengalami proses belajar?!.
Surprise sekali…hasil yang dicapai enggak maksimal. Hmm… waktu itu ngajar kelas
X materi eksponen. Anak-anak masih bingung kalo dua pangkat min satu itu sama
dengan setengah. Padahal, aku merasa cara aku mengajar benar, aku semangat, aku
memotivasi. Mau tahu?...Rupaya, selama durasi itu aku nyroooocoooos ajah tanpa
memberikan kesempatan ke anak untuk berfikir, mengolah informasi, menelaah,
memahami. Aku beranggapan “ah, materi ini mudah.. Cuma bolak-balik saja”.
persepsi “ini mudah”. Nerangin trus kasih variasi soal beres to?!…. .
Jawabannya adalah “TIDAK”.
Selama proses pembelajarn kelihatannya baik.
Guru menyampaikan materi dengan suara lantang (tapiii… jangan kekencenegn juga
keles…), memotivasi siswa. Siswa pun terlihat baik-baik saja, mencatat,
memperhatikan. Tapi yang terjadi adalah.. seolah-olah siswa hanya menonton
pertunjukkan demonstrasi dari sang guru… hehehehe… -Itu contoh pseudoteaching. Jujur kuakui, pada saat
itu sedikit sekali siswa yang mengalami proses belajar.
Tahun kelima aku mengajar:
Jeda lima tahun ini
aku mencari bentuk pembelajaran matematika yang efektif dan menyenangkan. Nah..
tahun 2008 hingga kurun waktu tiga atau empat tahunan kedepan sekitar 2012,
tahun booming blog, Edmodo, e-learning, semua serba online. Aku pikir ketika
aku bisa menginternaliasasikan IT ke dalam pembelajaranku—sepertinya akan keren
deh… makanya aku membuat kelas virtual dengan harapan murid-murid aku yang gak
bisa masuk kelas tatap muka, masih bisa mengunduh materi atau mengikuti kuis
secara online.
Tetapi, pernah aku berpikir. Materi yang aku unduh
ini bermanfaat tidak ya buat anak-anak. Lalu aku membuat polling untuk kelas
virtual yang aku bikin di Edmodo, hasilnya adalah 63% (bilangan yang mendekati-
) mengatakan tidak puas dengan kelas virtual yang ada, dengan alasan jaringan
tidak stabil sehingga malah bikin repot, karena harus ke warnet. Seharusnya aku
harus membuat pra study tentang penggunaan internet di kalangan siswa- enggak
bisa hanya berasumsi, ah.. masak anak sekolah ini kesulitan menemukan jaringan
internet. NO WAY !!!...
Pada akhirnya, saya berpikir bahwa solusi untuk
masalah pendidikan di tengah arus teknologi ini adalah bagaimana kita menyikapi
teknologi sebagi tools. Sehingga itu tergantung dari Anda, apakah model
pembelajaran ini merupakan pembelajarn yang semu atau tidak.
Bagaimanapun pengajaran yang terbaik hanya bisa
dilakukan bila ada interaksi atau hubungan antara guru dan murid secara
langsung, mendiskusikan suatu permasalahan dan menyelesaikan suatu situasi yang
baik maupun buruk. Tut wuri handayani, Ing madyo mangun karso dan Ing ngarso
sung tulodho.
Ya, gegap teknologi masih menjadi PR buatku
hingga saat ini.. agar tercipta pembelajaran konkrit bukan pembelajarn semu
lagi.
Setelah tahun 2013 hingga sekarang:
Pseudoteaching seperti apa yang aku lakukan?bersambung ....
No comments:
Post a Comment